Senin, 04 Februari 2008

PROFESOR RISET, MARLIP, dan OLIMPIADE SAINS

Tulisan ini menarik perhatian saya makanya saya posting ulang di blog saya ini. Nyinggung nama Marlip Solanya (gaweanku) walaupun hanya dikit hehehe.. begini lengkapnya:
PROFESOR RISET, MARLIP, dan OLIMPIADE SAINS
Oleh: Rahardi Ramelan, Guru Besar, Fakultas Teknologi Industri - ITS Surabaya.
Ahli Peneliti Utama - BPPT
Angin segar diakhir bulan September 2005 untuk para peneliti dan ilmuwan kita, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menpan No. 128/2004, bahwa Ahli Paneliti Utama (APU) dapat mempergunakan gelar Profesor Riset. Satu perjuangan yang panjang untuk mendapatkan “pengakuan” yang lebih baik. Guru Besar adalah jabatan fungsional tertinggi dalam bidang pendidikan tinggi dan dapat mempergunakan gelar profesor. Sedangkan Ahli Peneliti Utama adalah jabatan fungsional tertinggi bagi peneliti, dan biasanya memakai gelar APU. Masalahnya adalah gelar APU ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Kita perlu mengakui bahwa masyarakat kita masih banyak menilai seseorang dari gelarnya. Demikian juga dengan para peneliti kita yang dipuncak kariernya mendapatkan gelar APU, menghadapi masalah pengakuan dalam masyarakat. Sebutan APU di masyarakat samasekali tidak dikenal dibandingkan dengan Profesor. Dengan dipakainya gelar Profesor Riset untuk Ahli Peneliti Utama, merupakan satu terobosan yang sudah lama dinanti oleh para peneliti. Penghargaan saya sampaikan kepada Ketua LIPI dan Menristek/Kepala BPPT yang telah menuntaskan perjuangan yang panjang tersebut.
Tapi apa maknanya pemberian gelar Profesor Riset ini? Kita memiliki beragam pusat penelitian di tanah air ini. Baik lembaga yang berdiri sendiri seperti LIPI, BATAN, LAPAN, BPPT, dan yang lainnya, demikian juga badan-badan penelitian yang berada diberbagai departemen dan kementerian. Kita memiliki juga pusat-pusat kajian dan penelitian diperusahaan-perusaahaan baik BUMN maupun swasta, serta lembaga-lembaga indipenden. Yang lebih penting lagi, bahwa kita memiliki potensi dan aset yang besar, yaitu para peneliti dan pemikir bebas berbasis ilmu pengetahuan (sains). Sayangnya fasilitas fisik dan SDM lembaga-lembaga penelitian ini kurang dapat dimanfaatkan dalam bidang pengajaran. Diharapkan dengan keputusan pemberian gelar Profesor Riset bagi para Ahli Peneliti Utama, maka baik fasilitas fisik maupun para Profesor Riset-nya dapat dimanfaatkan bagi program-program S-2 dan S-3 bekerjasama dengan perguruan tinggi. Bekerja sama dengan Guru Besar – Profesor di perguruan tinggi. Para Profesor Riset tersebut dapat terlibat penuh, baik sebagai promotor ataupun sebagai pembimbing para mahasiswa yang sedang menempuh program S-2 dan S-3.
Selain itu dipenghujung tahun 2005 ini para pemuda kita, bisa membuktikan kwalitas keilmuwannya dalam berbagai Olimpiade Sains. Menggondol medali emas dan juara umum dalam berbagai kompetisi internasional. Sungguh membanggakan dan memberikan harapan bagi masa depan bangsa ini. Tetapi apa artinya kalau mereka harus berhenti disitu. Hanya puas dengan medali emas dan juara. Bukan itu cita-cita mereka, tetapi bagaimana kerja keras dan ketekunan mereka dalam sains akan berguna bagi masyarakatnya.
“MARLIP” dan Start Up Company
Sewaktu Presiden SBY mencanangkan tahun 2005 – 2006 sebagai Tahun Ilmu Pengetahuan Nasional, Presiden telah menantang para ilmuwan untuk menunjukan hasil-hasil nyatanya. Dari berbagai hasil para ilmuwan dan peneliti, “Marlip” telah mencuri perhatian para pengunjung. Marlip atau Marmut - LIPI, adalah kendaraan yang menggunakan motor listrik sebagai daya dorongnya. “Marlip” menghadapi masalah dan rintangan dalam komersialisasi hasil penemuan, sama dengan hasil-hasil penemuan lainnya. Yaitu dana yang diperlukan untuk mematangkan satu penemuan supaya bisa menjadi produk yang diterima pasar, permasalahan yang sudah kronis dihadapi oleh ilmuwan dan peneliti kita. Berbagai upaya dan langkah-langkah telah lama dicoba dan dilaksanakan, tetapi belum ada break through yang signifikan. Hambatan yang dihadapi dalam komersialisasi hasil-hasil penelitian dan penemuan terutama disebabkan tidak adanya modal ataupun dana yang dapat menunjang kegitan tersebut. Dalam mendukung untuk berkembangnya satu perusahaan baru - Start Up Company, khsusunya yang berbasis iptek, ada dua komponan yang penting. Pertama adalah fasilitas untuk dapat mempertemukan segala aspek yang diperlukan untuk satu “usaha”. Proses produksi, perhitungan biaya, dana, pemasaran dan lain-lain. Untuk hal tersebut berbagai perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian telah mendirikan dan memiliki (Technology) Incubator – Inkubator (Teknologi). Berbagai ragam Inkubator tersebar didaerah-daerah. Selain inkubator telah dirintis juga yang dinamakan Open Laboratory, dimana laboratorium mengundang investor untuk bekerja sama melaksanakan komersialisasi hasil penelitian didalam laboratorium, dengan menambahkan beberapa peralatan yang diperlukan untuk produksi. Tetapi kenyataan yang kita hadapi adalah, bahwa dengan adanya berbagai inkubator dan open laboratory, belum bisa melahirkan start up company. Hambatan utamanya ialah, kurangnya atau tidak adanya dukungan dana.
Komponen kedua, seperti diungkapkan diatas, adalah modal atau dana. Dalam tahap penelitian, pemerintah sejak tahun 1990-an telah mengembankan program RUT (Riset Unggulan Terpadu), kemudian disusul dengan RUK (Riset Unggulan Kemitraan). Kedua program ini menyediadakan dana APBN untuk program-progran penelitian lintas institusi dan kemudiaan didalam program RUK diadakan kerjasama dengan swasta. Memasuki pematangan suatu hasil penelitian, yang biasanya dilakukan didalam inkubator, diperukan sumber dana lain yang sering dinamakan seed capital. Dari hasil inilah akan lahir pengusaha dan perusahaan baru berbasis iptek. Start up company (sebutan kepada perusahaan yang baru ini) berbasis iptek, biasanya dimotori hanya oleh perorangan atau kelompok yang berhasil melakukan penelitian dan pengembangan produk atau proses tertentu, yang sudah matang untuk dikomersialisasikan. Mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan kolateral untuk mendapatkan kredit perbankan. Sebab itu diperlukan dana yang ikut dalam usaha baru ini. Usaha yang berisiko tinggi, tapi juga bisa menjadi leader dalam bidangnya. Dana atau modal semacam ini biasanya disediakan oleh Venture Capital (Modal Ventura). Ditahun 1970-an pemerintah telah memulai usaha ini dengan PT Bahana. Disusul kemudian hampir disemua daerah dibentuk Modal Ventura Daerah. Sayangnya dalam prakteknya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak bertindak sebagai modal ventura seperti yang diharapkan, melainkan memberikan pinjaman dengan pengembalian melalui bagi hasil, dan ikut dalam manajemen perusahaan baru tersebut. Sehingga dalam perkembangannya perusahaan modal ventura tersebut tidak dapat diandalkan untuk membantu start up company berbasis iptek.
Setelah krisis tahun 1997, beberapa perusahaan modal ventura dari Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Malaysia, berhasil melakukan operasinya di Indonesia. Perusahan ventura tersebut mengincar perkembangan dalam bidang IT dan bioteknologi yang memasuki tahap komersialisasi dan membentuk start up company.
Ketiadaan atau keterbatasan APBN dan seed capital akan mengurangi lahirnya marlip-marlip baru. Sederetan “marlip-marlip” lainnya menunggu uluran tangan pendanaan modal ventura. Medali emas dan juara umum diajang Olimpiade Sains bukan tujuan akhir para pemuda kita. Mereka tidak ingin hanya “menang” dalam perlombaan, mereka ingin berbuat sesuatu untuk masyarakatnya, mereka juga ingin menjawab tantangan Presiden. Sudah saatnya otoritas moneter dan keuangan, serta para legislator, sungguh-sungguh memperhatikan masalah ini. Janganlah ketekunan dan kebanggaan para peneliti dan ilmuwan kita hanya akan berakhir sebagai Profesor Riset saja, atau para pemuda dan mahasiswa kita bangga sebagai pemenang didalam kontes saja. Terobosan Ketua LIPI dan Menristek belum tuntas sepenuhnya. Selamat berjuang.
LP Cipinang, awal Desember 2005.
Dimuat di Harian Republika, tgl 21 Desember 2005

Tidak ada komentar: